IHYA ULUMUDDIN BAHAGIAN 10 :BAHAYA BERDEBAT YANG MERUSAKAN BUDI: KITAB ILMU

(IMAM AL GHAZALI)

BAHAGIAN 10 Penjelasan Bahaya Berdebat Yang Merusakkan Budi

PENJELASAN: Bahaya berdebat (bermunadharah) dan hal-hal yang terjadi dari padanya, tentang kerusakan budi.

 
Ketahuilah dan yakinlah bahwa perdebatan yang diadakan dengan tujuan mencari kemenangan, menundukkan la wan, melahirkan kelebihan dan kemuliaan diri, membesarkan mulut di muka orang banyak, ingin kemegahan dan kebebasan serta ingin menarik perhatian orang, adalah sumber segala budi yang tercela pada Allah dan terpuji pada Iblis musuh Allah. Hubungannya kepada sifat-sifat kekejian bathin, seumpama takabur, 'ujub, dengki, ingin di muka, menyangka diri bersih, suka kemegahan dan lainnya, adalah seumpama hubungan minum khamar kepada sifat-sifat kekejian dhahir, seumpama zina, menuduh orang berbuat zina (qazaf), membunuh dan mencuri.
Sebagaimana orang yang disuruh memilih antara minum an yang memabukkan dan perbuatan-perbuatan keji yang lain, lalu dianggap-nya minuman itu lebih enteng maka minumlah dia. Lalu oleh minuman itu, diajaknya ketika sedang mabuk, kepada perbuatan-perbuatan keji yang lain, maka demikian pulalah orang yang didesak oleh keinginan menjatuhkan orang lain, memperoleh kemenangan dalam perdebatan, kemegahan dan keangkuhan, mengajaknya kepada bermacam-macam sifat keji yang tersembunyi dalam jiwanya-Dan menggelagaklah padanya segala budi pekerti yang tercela.
Segala budi pekerti itu akan diterangkan nanti dalil-dalilnya, baik hadits atau ayat yang menyatakan tercelanya pada : "Bahagian Sifat-sifat Yang Membinasakan".
Sekarang kami tunjukkan keseluruhan sifat-sifat jahat yang ditimbulkan oleh munadharah itu. Diantaranya : "dengki".

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

الحسد يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب

(Al-hasadu yaTculul hasanaati kamaa ta'kulun naarul hathaba).

Ertinya :"Dengki itu memakan yang baik seperti api memakan kayu kering'.

Seorang pendebat tidak terlepas dari sifat dengki. Karena dia sekali menang, sekali kalah. Sekali kata-katanya dipuji orang dan sekali kata-kata lawannya dipuji orang. Selama di dunia ini ada orang yang dipandang lebih banyak ilmunya dan pemandangannya atau disangka lebih cakap dan lebih kuat pemandangannya, maka selama itu pula, ada orang yang dengki kepadanya dan mengharap nikmat itu hilang dan berpindah kepada orang yang dengki itu.

Dengki adalah api yang membakar. Orang yang menderita penya kit dengki, di dunia beroleh 'azab sengsara dan di akhirat lebih hebat dan dahsyat lagi. Karena itulah, berkata Ibnu Abbas ra. : "Ambillah ilmu pengetahuan di mana saja kamu dapati. Dan janganlah kamu terima perkataan fuqaha", karena diantara sesama mereka itu berselisih satu sama lainnya, seperti berselisihnya kambing-kambing jantan dalam kandang".


Di antara sifat-sifat jahat itu ; takabur dan mau tinggi sebenang dari orang lain.

من تكبر وضعه الله ومن تواضع رفعه الله
(Man takabbaia wa dla'ahullaahu wa man tawaadla'a rafa'ahullaahu)

Artinya :"Barangsiapa takabur, niscaya direndahkan oleh Tuhan dan barang siapa merendahkan diri, niscaya ditinggikan oleh Tuhan".

Bersabda Nabi saw. menceriterakan firman Allah Ta'ala :

العظمة إزاري والكبرياء ردائي فمن نازعني فيهما قصمته
(Al-adhamatu izaarii wal kibriyaa-u ridaa-ii faman naaza 'anii fiihi-maa qashamtuhu).
Ertinya :"Kebesaran itu kain sarungKu, takabur itu selendangKu. Maka barangsiapa bertengkar denganKu tentang yang dua itu, niscaya Aku binasakan dia".
Selalulah orang yang berdebat itu menyombong terhadap teman dan kawannya, ingin lebih tinggi dari yang wajar. Sehingga mereka berperang tanding dalam majelis perdebatan, berlomba-lomba meninggi dan merendahkan, mendekati dan menjauhkan diri dari tiang tengah, dahulu mendahulukan masuk pada jalan yang sempit.
Kadang-kadang si bodoh dan si keras kepala dari mereka, mengemukakan alasan bahwa maksudnya dengan perdebatan itu memeli-hara kemuliaan ilmu dan "bahwa orang mu'min itu dilarang meng-hinakan diri". Lalu mengatakan tentang sifat merendahkan diri (tawadlu') yang dipujikan Allah dan para NabiNya dengan menghinakan diri dan tentang sifat takabur yang dicelai Allah dengan memuliakan agama, merupakan penyelewengan nama dan menyesatkan orang banyak, sebagaimana yang telah diperbuat terhadap nama hikmah, ilmu dan lainnya.

Di antara sifat-sifat jahat itu : dendam. Hampir seluruh orang yang suka berdebat, tidak terlepas dari sifat pendendam.

Nabi saw. pernah bersabda :

"Orang mu'min tidaklah pendendam ".

Banyak lagi dalil yang mencela sifat pendendam itu, yang tak tersembunyi lagi.
Seorang yang mengambil bahagian dalam perdebatan, tidak sanggup membersihkan jiwanya dari sifat pendendam, terhadap orang yang menyambut dengan baik keterangan iawannya, sedang terhadap keterangannya sendiri dipandang sepi dan tidak diperhatikan dengan baik.
Apabila dilihatnya demikian, maka bersemilah dalam hatinya penyakit dendam, makin lama ma kin mendalam. Akhimya menjadi sifat munafiq yang tersembunyi dan membayang kepada dhahir, yang biasanya tidak dapat dibantah lagi.
Bagaimanakah melepaskan diri dari ini? Dan tidaklah tergambar kesepakatan seluruh pendengar untuk memperkuatkan keterangannya dan memandang baik dalam segala hal, caranya menolak dan memberi alasan. Bahkan jika timbul dari Iawannya sedikit saja yang menyebabkan kurang perhatian kepada perkataannya maka terta-namlah dalam dadanya sifat pendendam itu yang payah hilang sampaii bercerai badan dengan nyawa.

Di antara sifat-sifat yang jahat itu : mengumpat.

Sifat mengumpat itu diserupakan oleh Allah dengan memakan bangkai. Maka senantiasalah orang yang berdebat itu memakan bangkai. Karena dia tidak dapat melepaskan diri dari menceriterakan Iawannya dan mencacinya. Paling tinggi, dipeliharanya kebenaran dalam ceriteranya dan tidak membohong. Maka diceriterakannya sudah pasti— keadaan-keadaan yang menunjukkan kekurangan ilmu lawan, kelemahan dan kurang kelebihannya. Dan itulah mengupat nama-nya. Sedang berdusta yaitu mengada adakan yang tidak-tidak.
Begitu pula tidak sanggup dia menjaga lidahnya dari membentangkan hal keadaan orang yang menentang perkataannya dan memperhatikan perkataan Iawannya dan menerimanya. Sehingga orang itu disebutnya bodoh, dungu, kurang paham dan bebal.



Di antara sifat-sifat yang jahat itu : membersihkan diri.

Berfirman Allah Ta'ala :

فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
(Falaa tuzakkuu anfusakum huwa a'lamu bimanit taqaa).

Ertinya:"Janganlah kamu membersihkan dtrimu. Dialah (Allah) yang Maha Mengetahui siapa yang bertaqwa (surah.An Najm, ayat 32)

Ditanyakan kepada seorang ahii'hikmah (hukama) :
"Manakah kebenaran yang buruk?".
Menjawab hukama' itu : "Memuji manusia akan dirinya'.
Tidaklah terlepas, si pendebat itu memuji dirinya dengan kekuatan, kemenangan dan kelebihan dari teman-temannya. Senantiasa ia mengatakan ketika berdebat : "Saya bukan orang yang tidak mengerti dalam segala hal ini. Saya mengetahui bermacam-macam ilmu, berpaham sendiri tentang pokok-pokok agama dan menghafal banyak hadits". Dan lain-lain perkataan yang timbul dari orang-orang yang memuji diri. Sekali untuk memujikan dirinya saja dan sekali dengan tujuan supaya- kata-katanya laris,
Sebagai dimaklumi bahwa memuji diri sendiri, baik ada ataupun tidak ada yang disebutkan itu, adalah tercela sepanjang agama dan akal pikiran yang sehat.

Diantara sifat-sifat yang jahat itu : mengintip dan mengikuti hal ihwal orang.

Berfirman Allah Ta'ala :

وَلا تَجَسَّسُوا
(Wa laa tajassasuu).(S. Al-Hujurat, ayat 12).

Ertinya :"Janganlah kamu mengintip-ngintip (memata-matai)".(S. Al-Hujurat, ayat 12).
Si pendebat itu senantiasa mencari kesilapan teman dan kekurangan Iawannya. Sehingga bila datang seorang pendebat lain ke tempatnya lalu dicarinya orang yang dapat menerangkan rahasia hidup pendebat yang datang itu. Ditanyainya keburukan-keburukannya untuk menjadi bahan yang akan disiarkan dan ditonjolkan nanti apabila keadaan memerlukan.
Penyelidikan itu sampai kepada keadaan hidup si pendebat yang datang itu semasa kecil dan kekurangan-kekurangan yang ada pada badannya. Dengan demikian, diperolehnya kekurangan atau kecederaan tubuh seumpama bekas borok atau lainnya.
Kemudian, apabila dirasanya perlu, lalu dibentangkannya jika ada hubungannya dengan perdebatan. Hal itu dipandangnya baik untuk memperoleh sebab-sebab kemenangan. Dan tidak menjadi halangan, menerangkan hal tersebut dengan diselang-selangi penghinaan dan pengejekan, sebagaimana biasa dilakukan oleh pendebat-pendebat terkemuka yang terhitung tokoh-tokoh penting.


Di antara sifat-sifat yang jahat itu : perasaan gembira dengan kesusahan lawan dan perasaan susah dengan kegembiraan lawan.

Orang yang tidak menyukai pada saudaranya muslim apa yang disukainya pada dirinya sendiri, maka adalah dia jauh dari budi pekerti orang mu'min. Tiap-tiap orang yang mencari kemegahan dengan mengemukakan kelebihannya, maka pastilah menyenangkan baginya dengan timbul kesusahan bagi teman dan kawannya yang menjadi saingannya. Pertentangan bathin diantara mereka, samalah halnya dengan pertentangan bathin diantara wanita-wanita yang dimadukan. Maka sebagaimana seorang wanita yang. dimadukan, apabila melihat dari jauh saingannya, lalu gemetarlah sendi-sendi-nya dan pucatlah mukanya. Maka demikian pula halnya dengan orang yang berdebat itu, apabila melihat Iawannya lalu berubahlah warna mukanya dan kacaulah pikirannya. Seolah-olah dia melihat setan yang menggoda atau binatang buas yang menerpa.
Maka dimanakah sayang-menyayangi dan cinta-mencintai itu, yang berlakudiantara para alim ulama ketika berjumpa? Dan dimanakah persaudaraan, bertolong-tolongan dan senasib-sepenanggungan pada masa duka dan suka sepanjang riwayat yang diterima dari ulama-ulama yang terdahulu? Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata : "Ilmu pengetahuan diantara orang-orang yang terkemuka dan berpikiran tinggi itu, adalah dalam bersilatur-rahmi yang sambung-menyambung".
Dari itu saya tidak mengerti, bagaimana mendakwakan diri mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi'i oleh segolongan manusia, di mana ilmu pengetahuan itu diantara mereka telah menjadi alat permusuh-an yang memutuskan silatur-rahmi? Mungkinkah tergambar sayang menyayangi diantara mereka, di samping mencari kemenangan dan kemegahan? Amat jauh panggang dari api! Waspadalah diri dari kejahatan yang mengakibatkan berbudi pekerti munafiq dan terlepas dari budi pekerti mu'min dan muttaqin.


Di antara sifat-sifat yang jahat itu : nifaq (sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam).

Tidak perlulah rasanya diterangkan dalil-dalil yang mencela sifat nifaq itu.
Orang-orang berdebat itu memerlukan kepada sifat nifaq. Karena apabila bertemu dengan lawan, pencinta-pencinta lawan dan golongan lawan, maka tak ada jalan lain, selain dari melahirkan kata pershahabatan dengan lisan, kata kasih-sayang dan memuji-muji kedudukan dan keadaan lawan.
Hal itu disadari oleh si pembicara dan yang dihadapkan pembicaraan itu kepadanya, bahkan oleh seluruh yang mendengar, bahwa itu bohong, dusta, nifaq dan zalim. Karena berkasih-sayang dengan lisan, berdendam-khasumat dengan hati. Berlindunglah kita dengan Allah dari sifat nifaq itu!.

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم:

إذا تعلم الناس العلم وتركوا العمل وتحابوا بالألسن وتباغضوا بالقلوب وتقاطعوا في الأرحام لعنهم الله عند ذلك فأصمهم وأعمى أبصارهم
(Idzaa ta'allaman naasul 'ilma wa tarakul 'amala wa tahaabbuu bil alsuni wa tabaaghadluu bil quluubi wa taqaatha'uu fil arhaami la'anahumullaahu 'inda dzaalika fa-a-ehammahum wa a'maa abshaa-rahum.)
Ertinya :"Apabila manusia mempelajari ilmu dan meninggalkan amal, berka-sih-kasihan dengan lisan dan bermarah-marahan dengan hati, serta berputus-putusan silatur-rahmi, maka kenalak kutukan Allah ketika itu. Ditulikan telinganya dan dibutakan matanya. Hadits ini diriwayatkan Al-Hasan. Dan benarlah demikian dengan dipersaksikan keadaan itu!.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : menyombong, menolak kebenaran dan bersungguh-sungguh menantangnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang amat dimarahi oleh seorang pendebat ialah lahirnya kebenaran dari lidah Iawannya. Maka bagaimanapun kebenaran itu sudah terang ibarat matahari waktu siang, mau juga di tanking dan dilawannya dengan segala usaha dan kemungkinan yang ada, baik dengan penipuan, pengkhianatan dan kebusukan hati. Sehingga jadilah menantang kebenaran itu adat yang lazim bagi seorang pendebat. Bila saja didengarnya perkataan lawan, terus datang keinginannya menantang. Sampai hal itu melekat pada hatinya, tidak saja terhadap keterangan biasa, bahkan juga terhadap dalil dari Al-Quran dan kata-kata lain dari agama. Maka jadilah dalil-dalil itu berantakan satu sama lain.
Berdebat menghadapi yang batil itu harus dengan hati-hati. Nabi saw. berseru supaya meninggalkan perdebatan mengenai hal yang benar melawan yang batil.

Nabi sawصلى الله عليه وسلم Bersabda :

من ترك المراء وهو مبطل بنى الله له بيتا في ربض الجنة ومن ترك المراء وهو محق بنى الله له بيتا في أعلى الجنة
(Man tar akal miraa-a wabuwa mubthilun banallaahu lahu baitan fii rabadlil jannati wa man tar akal miraa-a wahuwa muhiqqun banallaahu lahu baitan fii a'-lal jannati).1

Ertinya :Barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang batil, maka dtbangun Allah baginya sebuah rumah dalam perkampungan sorga. Dan barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang benar, maka dibangun Allah baginya sebuah rumah dalam sorga tinggi".
Allah Ta'ala menyamakan antara orang yang mengada-adakan terhadapNya dengan kedustaan dan orang yang mendustakan kebenaran.

FirmanNya :

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ
(Wa man adhlamu mimmanif taraa 'alallaahi kadziban au kadzdzaba bil haqqi lammaa jaa-ahu).
Ertinya :"Siapakah yang lebih besar kesalahannya dari orang-orang yang mengada-adakan kedustaan tentang Allah atau mendustakan kebenaran tatkala datang kepadanya (Al-Ankabut, ayat 68).
Dan firmanNya :

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ
(Faman adhlamu mimman kadzaba 'alallaahi wa kadzdzaba bish-sbidqi idzjaa-ahu).

Ertinya :"Siapakah yang lebih besar kesalahannya dari orang yang berbuat kedustaan tentang Allah dan orang yang mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya!". (S-Zumar, ayat 32).

Diantara sifat-sifat yang jahat itu : ria',ingin memperlihatkan amalannya kepada orang banyak, berusaha menarik hati dan pandangan mereka kepadanya. Ria'adalah penyakit bathin yang amat berbahaya, dapat menjerumuskan ke dalam dosa besar, sebagaimana akan diterangkan nanti pada "Kitab Ria".
Seorang pendebat, tidaklah bermaksud, kecuali namanya muncul di muka umum. Lidah orang banyak lancar memujinya.
Inilah sepuluh perkara dari induk kekejian bathin, selain dari yang timbul secara kebetulan dari orang-orang di luar pendebat itu sendiri, yang merupakan permusuhan yang mengakibatkan pemukulan, penempelengan, pengoyakan kain, penarikan janggut, pemakian ibu-bapa, pengupatan guru dan tuduhan-tuduhan yang tegas me-nyakitkan hati. Mereka ini tidaklah terhitung dalam golongan orang yang masuk bilangan.
Sesungguhnya orang-orang yang terkemuka dan yang terkenal pintar dari mereka, tidaklah terlepas dari perkara yang sepuluh itu.
Benar, sebahagian dari mereka terpelihara dari beberapa sifat tadi, di samping ada pula yang tidak begitu jelas atau sangat jelas dengan sifat-sifat itu. Atau karena jauh dari kampungnya dan unsur-unsur kehidupannya, maka sifat-sifat itu berbeda antara satu sama lainnya.

Pendek kata, payahlah terlepas dari -sifat-sifat tersebut bagi siapa juapun dalam bentuknya yang bermacam-macam, melihat kepada tingkat orang itu sendiri. Kemudian dari sifat yang sepuluh tadi, masing-masing daripadanya bercabang pula kepada sepuluh yang lain yang tak kurang kejinya.
Kami tidak berpanjang kalam menyebut dan menguraikannya satu-persatu, seumpama keras hidung, marah, dendam, loba, ingin memperoleh harta dan kemegahan untuk tetap dalam kemenangan, bang ga, keras kepala, suka membesarkan orang kaya dan penguasa serta pulang-pergi menghadap dan mengambil hati mereka. Berlomba lomba dengan kecantikan kuda dan lain kendaraan serta pakaian yang terlarang. Suka menghina orang lain dengan keangkuhan dan kesombongan, turut campur barang yang tak perlu, banyak bicara, hilang rasa-takut, hilang gemetar dan belas-kasihan di dalam hati, dikuasai sifat lalai padanya. Sehingga diantara mereka yang mengerjakan shalat, tak tahu lagi tentang shalatnya, bacaannya dan dengan siapa dia sedang- bermunajat.
Dia tidak merasa khusyu' dalam hatinya, padahal umurnya telah dihabiskannya mempelajari ilmu pengetahuan yang dapat menolongkannya dalam perdebatan, ilmu mana tak ada gunanya di akhirat. Seumpama pengetahuan membaguskan susunan kata, dengan sajak, dengan menghafal kata-kata yang ganjil dan lain-lain sebagainya yang tak terhitung banyaknya.
Orang-orang yang suka berdebat itu, berlebih-kurang tingkat dari sifat-sifat tersebut. Bermacam-macam tingkat dan derajatnya. Meskipun yang terkuat beragama dan terpintar diantara mereka, tidak juga terlepas dari keseluruhan unsur-unsur budi-pekerti. Hanya usahanya ada untuk menyembunyikannya atau berjuang menjauhkan diri dari padanya.
Dan ketahuilah bahwa budi pekerti yang rendah tadi, melekat juga pada orang yang bekerja dalam lapangan memberi nasehat dan pelajaran apabila tujuannya mencari kerelaan orang, menegakkan kemfegahan, memperoleh kekayaan dan kemuliaan.
Melekat juga pada orang yang bekerja dalam lapangan pengetahuan madzhab dan fatwa-fatwa, apabila tujuannya ingin menjadi kadli, menjadi penguasa harta wakaf dan terkemuka dari teman.
Pendek kata, kerendahan budi itu menimpa kepada tiap-tiap orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap pahala daripada Allah Ta'ala di akhirat Maka ilmu itu tidak saja menyianyiakan orang yang berilmu itu, bahkan juga membinasakannya atau menghidupkannya sepanjang zaman.

Karena itu, bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
أشد الناس عذابا يوم القيامة عالم لا ينفعه الله بعلمه
(Asyaddun naasi 'adzaaban yaumal qiyaamati 'aalimun laa yanfa-'uhullaahu bi'ilmihi).
Ertinya :"Manusia yang sangat menderita adzab pada hari qiamat,ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfa'at dengan ilmunya
Maka ilmu itu telah memberi melarat kepada yang berilmu itu sendiri, di samping tidak ada gunanya. Mudah-mudahan kiranya terlepaslah dari keadaan yang tersebut dan dapatlah orang yang berilmu itu, memperoleh manfa'at dengan ilmu pengetahuannya!.
Sesungguhpya, bahaya ilmu itu besar. Orang yang mencari ilmu, adalah ibarat orang yang mencari kekayaan yang abadi dan kesenangan yang tidak kunjung hilang. Maka tak terlepaslah ia dari kekayaan atau kebinasaan, seperti orang yang mencari kekayaan duniawi. Kalau kebetulan tidak diperolehnya harta, jangan diharap dia terpelihara dari kehinaan, bahkan —tidak mustahil—lebih buruk dari itu lagi.
Jika anda mengatakan, bahwa ada gunanya diberi kesempatan mengadakan perdebatan. Yaitu membawa manusia suka menuntut ilmu. Karena kalaulah bukan karena cinta menjadi kepala, maka ilmu itu telah terbenam.
Benar perkataan anda itu dari satu segi. Tetapi faedahnya tidak ada. Anak kecilpun tidak suka pergi ke sekolah bila tidak dijanjikan bermain bola, bermain anggardan bermain mengadu pipit. Keadaan yang demikian, tidaklah menunjukkan bahwa kesukaan yang seperti itu, kesukaan yang terpuji. Dan kalaulah tidak karena suka menjadi kepala, lalu ilmu pengetahuan itu terbenam. Itupun tidak menunjukkan bahwa mencari kedudukan kepala itu dapat melepaskan diri dari kebinasaan.

Tetapi termasuklah diantara orang yang diterangkan

Nabi صلى الله عليه وسلمdengan sabdanya
إن الله ليؤيد هذا الدين بأقوام لا خلاق لهم
(Innallaaha layuayyidu haadzad diina).

Ertinya :"Sesungguhnya Allah akan menguatkan agama ini dengan kaum (orang-orang )yang tak berbudi.

Dan Sabdanya Dalam Hadis Lain

وقال صلى الله عليه وسلم: إن الله ليؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر

Sesungguhnya Allah Akan menguatkan Agama ini dengan orang zalim

Orang yang mencari kedudukan kepala bagi dirinya sendiri adalah binasa. Kadang-kadang ia dapat memperbuat perbaikan bagi orang lain, kalau ia mengajak kepada meninggalkan dunia. Yaitu orang yang dhahimya sebagai seorang ulama salaf (ulama terdahulu), tetapi bathinnya, ia menyembunyikan tujuannya mencari kemegahan.

Orang yang seperti itu, adalah seumpama iilin yang membakar dirinya sendiri dan menerangi orang lain. Kebaikan yang diperoleh orang lain, adalah terletak dalam kebinasaannya.

 
Maka apabila orang yang berilmu itu memanggil manusia untuk mencari dunia, adalah seumpama api pembakar, yang membakar dirinya sendiri dan lainnya.
Dari itu, maka ulama ada tiga, adakalanya membinasakan diri sendiri dan orang Iain, yaitu mereka yang berterus-terang mencari dunia dan memusatkan seluruh perhatiannya kepada dunia. Adakalanya membahagiakan dirinya sendiri dan orang lain, yaitu mereka yang memanggil manusia ke jalan Allah, dhahir dan bathin. Dan adakalanya membinasakan dirinya dan membahagiakan orang lain, yaitu orang yang memanggil manusia ke jalan akhirat, tetapi dia sendiri menolak dunia pada dhahirnya, sedang pada bathinnya bertujuan mempengaruhi orang banyak dan menegakkan kemegahan diri.
Maka lihatlah! Dalam bahagian manakah anda berada dan orang yang menjadi tanggunganmu?
Janganlah anda menyangka bahwa Allah Ta'ala menerima ilmu dan amal dari orang yang tak ikhlas kepadaNya. Akan diterangkan kepadamu nanti pada Kitab Ria dan dalam seluruh Bahagian Yang Membinasakan. Sehingga segala keragu raguan hilang dari hati nuranimu, Insya Allah!.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasih komentar