IHYA ULUMUDDIN BAHAGIAN 12 :TUGAS MURSYID DALAM KITAB ILMU (IMAM AL GHAZALI)

OLEH IMAM AL GHAZALI

BAHAGIAN 12 : TUGAS MURSYID

PENJELASAN: Tugas-tugas penunjuk jalan kebenaran (mursyid), yang mengajar (mu'allim).


Ketahuilah bahwa manusia mengenai ilmu pengetahuannya, mempunyai empat macam keadaan, seperti halnya dalam pengumpulan harta kekayaan. Karena bagi orang yang berharta, mempunyai keadaan menggunakan hartanya. Maka dia itu adalah orang yang berusaha dan keadaan menyimpannya dari hasil usahanya itu. Sehingga jadilah dia seorang yang kaya, tak usah meminta lagi pada orang lain. Dan keadaan dapat membelanjai dirinya sendiri. Maka dapatlah ia mengambil manfa'at dari harta kekayaan itu.
Dan keadaan dapat memberikan kepada orang lain, sehingga ia menjadi seorang pemurah hati, yang dermawan. Dan inilah keadaan yang sebaik-baiknya.
Maka seperti itu pulalah dengan ilmu pengetahuan, dapat disimpan seperti menyimpan harta benda.
Bagi ilmu pengetahuan ada keadaan mencari, berusaha, dan keadaan mengkasilkan yang tidak memerlukan lagi kepada bertanya. Keadaan meneliti (istibshar), yaitu berpikir mencari yang baru dan mengambil faedah daripadanya. Dan keadaan memberi sinar cemerlang kepada orang lain. Dan inilah keadaan yang semulia-mulianya! Maka barangsiapa berilmu, beramal dan mengajar, maka dialah yang disebut orang besar dalam alam malakut tinggi. Dia Iaksana matahari yang menyinarkan cahayanya kepada lainnya dan menyinarkan pula kepada dirinya sendiri. Dia Iaksana kesturi yang membawa keharuman kepada lainnya dan dia sendiripun harum.
Orang yang berilmu dan tidak beramal menurut. ilmunya, adalah seumpama suatu daftar yang memberi faedah kepada lainnya dan dia sendiri kosong dari ilmu pengetahuan. Dan seumpama batu pengasah, menajamkan lainnya dan dia sendiri tidak dapat memo-tong. Atau seumpama jarum penjahit yang dapat menyediakan pakaian untuk lainnya dan dia sendiri telanjang. Atau seumpama sumbu lampu yang dapat menerangi lainnya dan dia sendiri terba-kar, sebagaimana kata pantun :
"Dia adalah Iaksana sumbu lampu yang dipasang, memberi cahaya kepada orang Dia sendiri terbakar menyala ".
Manakala sudah mengajar maka berarti telah melaksanakan pekerjaan besar dan menghadapi bahaya yang tidak kecil. Maka peliharalah segala adab dan tugas-tugasnya, yaitu :Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم

Tugas Pertama : mempunyai rasa belas-kasihan kepada murid-murid dan memperlakukan mereka sebagai anak sendiri.
إنما أنا لكم مثل الوالد لولده
(Innamaa ana lakum mitslul waalidi liwaladihi).

Artinya :"Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seumpama Seorang ayah bagi anaknya".
Dengan maksudnya, melepaskan murid-muridnya dari api neraka akhirat. Dan itu adalah lebih penting dari usaha kedua ibu-bapa, melepaskan anaknya dari neraka dunia. 


Karena itu, hak seorang guru adalah lebih besar dari hak ibu-bapa. Ibu-bapa menjadi sebab lahimya anak itu dan dapat hidup di dunia yang fana ini. Sedang guru menjadi sebab anak itu memperoleh hidup kekal. Kalau tidak adalah guru, maka apa yang diperoleh si anak itu dari orang tuanya, dapat membawa kepada kebinasaan yang terus-menerus.
Guru adalah yang memberikan kegunaan hidup akhirat yang abadi. Yakni guru yang mengajar ilmu akhirat ataupun ilmu pengetahuan duniawi, tetapi dengan tujuan akhirat, tidak dunia.
Adapun mengajar dengan tujuan dunia, maka itu binasa dan membinasakan. Berlindunglah kita dengan Allah daripadanya!.
Sebagaimana hak dari anak-anak seorang ayah, berkasih-kasihan dan bertolong-tolongan mencapai segala maksud, maka seperti demikian-Iah kewajiban dari murid'murid seorang guru, berkasih-kasihan dan sayang-menyayangi.
Hal itu baru ada, bila tujuan mereka akhirat. Dan kalau tujuannya dunia, maka yang ada tak lain dari berdengki-dengkian dan bermusuh-musuhan.'
Sesungguhnya para ulama dan putera-putera akhirat itu adalah orang-orang musafir kepada Allah Ta'ala dan berjalan kepadaNya, dari dunia. Tahun-tahunnya dan bulan-bulannya adalah tempat-tempat singgahan dalam perjalanan. Sayang-menyayangi diperjalan an antara orang-orang yang sama-sama berangkat ke kota, adalah menyebabkan lebih eratnya hubungan dan kasih sayang. Maka bagaimanakah berjalan ke firdaus tinggi dan sayang-menyayangi di dalam perjalanannya dan tak ada sempit pada kebahagiaan akhirat?
Maka karena itu, tak adalah pertentangan diantara putera-putera akhirat. Sebaliknya dalam mengejar kebahagiaan duniawi, jalannya tidak lapang. Dari itu senantiasa dalam keadaan sempit berdesak-desakan. Orang yang menyeleweng dengan ilmu pengetahuannya untuk menjadi kepala, sesungguhnya telah keluar dari kandungan firman Allah Ta'ala :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
(Innamal mu'minuuna ikhwah).

Ertinya :"Sesungguhnya orang mu'min itu bersaudara".(S. Al-Hujurat, ayat 10).
Dan masuk ke dalam maksud firman Allah Ta'ala
 الأخِلاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلا الْمُتَّقِينَ
(Al-akhillaa-u yauma-idzin ba'dluhum liba'dlin 'aduwwun illal mut-taqiin).

Ertinya :"Shahabat-shahabat pada hari itu, satu dengan yang lain jadi bermusuhan, kecuali dari orang-orang yang memelihara dirinya dari kejahatan ". .(Zukhruf ayat 67).

Tugas Kedua : bahwa mengikuti jejak Rasul sawصلى الله عليه وسلم. Maka ia tidak mencari upah, balasan dan terima kasih dengan mengajar itu. Tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya. Tidak ia melihat bagi dirinya telah menanam budi kepada murid-murid itu, meskipun murid-murid itu harus mengingati budi baik orang kepadanya.
Tetapi guru itu harus memandang bahwa dia telah berbuat suatu perbuatan yang baik, karena telah mendidik jiwa anak-anak itu. Supaya hatinya dekat kepada Allah Ta'ala dengan menanamkan ilmu pengetahuan padanya. Seumpama orang yang meminjam-kan kepada anda sebidang tanah untuk anda tanami didalamnya tanam-tanaman untuk anda sendiri. Maka faedah yang anda dapati adalah melebihi dari faedah yang diperoleh pemilik tanah itu. Maka bagaimanakah anda menyebut-nyebut jasa anda itu? Pada hal pahala yang anda peroleh dari mengajar itu, pada Allah Ta'ala lebih banyak dari pahala yang diperoleh oleh murid. Dan kalaulah tak ada murid yang belajar, maka anda tidak akan memperoleh pahala itu.
Dari itu, janganlah diharap pahala selain dari Allah Ta'ala, seperti firmanNya :
وَيَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالا إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى اللَّهِ
(Wa yaaqaumi laa asralukum alaihi maalan in ajria illaa 'alallaah). Artinya :
"Hai kaumku! Aku tiada meminta harta kepada kamu sebagai upah nya, upahku hanyalah dari Tuhan". (s. Hud, ayat 29).
Harta dan isi dunia adalah menjadi pesuruh badan kita. Badan menjadi kendaraan dan tunggangan jiwa. Yang dikhidmati ialah ilmu pengetahuan. Karena dengan ilmu pengetahuanlah, jiwa itu mulia.
Orang yang mencari harta dengan ilmu, samalah dengan orang yang menyapu bawah sepatunya dengan mukanya supaya bersih. Dija-dikannya yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi yang dilayani.
Inilah penj ungkir-balikan namanya. Dan adalah seumpama orang yang berdiri di hari mahsyar bersama orang-orang yang berdosa. Terbalik kepalanya dihadapan Tuhan.
Pendek kata, kelebihan dan kenikmatan adalah untuk guru. Maka perhatikanlah, bagaimana sampai urusan agama kepada suatu kaum, yang mendakwakan bahwa maksudnya dengan ilmu yang ada padanya, baik ilmu fiqih atau ilmu kalam, baik memberi pelajaran dalam ilmu yang dua tadi atau lainnya; adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Mereka menyerahkan harta dan kemegahan serta menerima bermacam-macam penghinaan, untuk berkhidmat kepada sultan-sultan (penguasa-penguasa), supaya permintaannya berlaku.
Jikalau mereka tinggalkan yang demikian itu, niscaya mereka ditinggalkan. Dan tidak akan ada orang yang datang kepada mereka lagi.
Kemudian, diharap oleh guru dari muridnya, ban tuan pada tiap-tiap malapetaka, memberi pertolongan kepadanya, memusuhi mu-suhnya, bangun memenuhi keperluan hidupnya dan duduk ber -simpuh dihadapannya. Apabila tidak, maka dia memberontak dan muridnya itu menjadi musuhnya yang terbesar.
Alangkah kotornya orang berilmu, yang rela untuk dirinya kedudukan yang demikian. Kemudian, ia bergembira dengan itu. Kemudian, tidak malu mengatakan :"Maksudku dengan mengajar ialah menyiarkan ilmu pengetahuan, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menolong agamaNya".
Maka perhatikanlah segala tanda, sehingga engkau melihat penipuan-penipuan yang beraneka ragam itu!
Tugas ketiga: bahwa tidak meninggalkan nasehat sedikitpun kepada yang demikian itu, ialah dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat, sebelum berhak pada tingkat itu. Dan belajar ilmu yang tersembunyi, sebelum selesai ilmu yang terang. Kemudian menjelaskan kepadanya bahwa maksud dengan menuntut ilmu itu, ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
Bukan karena keinginan menjadi kepala, kemegahan dan perlombaan. Haruslah dikemuka-kan keburukan sifat-sifat itu sejauh mungkin! Seorang berilmu yang jahat tidaklah berbuat kebaikan lebih banyak dari berbuat kejahatan dan kerusakan. Bila diketahui orang yang bathinnya dengan menuntut ilmu adalah untuk dunia, maka haruslah diperhatikan kepada ilmu yang dipelajarinya itu. Kalau ilmu itu ilmu khilafiah mengenai fiqih, berdebat dalam ilmu kalam, berfatwa dalam soal persengketaan dan hukum, maka hendaklah dicegah. Karena ilmu pengetahuan tersebut tidak termasuk dalam ilmu akhirat dan tidak termasuk sebagian dari ilmu yang dikatakan. "Kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu enggan kalau bukan karena Allah !'.'

Yang termasuk dalam ilmu akhirat, ialah ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu-ilmu yang menjadi perpegangan orang-orang terdahulu, dari ilmu akhirat, ilmu mengenai budi pekerti jiwa dan cara mengasuhnya.
Apabila ilmu tadi dipelajari oleh seorang pelajar dengan tujuan duniawi, maka tak mengapa dibiarkan. Karena membuahkan peng-harapan, bagi pelajar itu nanti, pada pengajaran dan pengikutan kepada orang ramai. Bahkan kadang-kadang ia sadar di tengah jalan atau diakhir jalan. Karena padanya ada pengetahuan yang membawa takut kepada Allah Ta'ala, penghinaan kepada dunia dan peug-hargaan kepada akhirat.
Dan ada harapan besar pelajar itu akan memperoleh jalan yang benar ke akhirat, sehingga dia memperoleh pengajaran dengan apa yang diajarinya orang lain. Dan berlakulah kesukaan diterima orang kata-katanya dan kemegahan, sebagai berlakunya biji-bijian yang ditaburkan di keliling perangkap,. untuk menangkap burung dengan yang demikian.
Memang demikianlah, diperbuat oleh Allah pada hambaNya. Karena dijadikanNya nafsu syahwat, supaya makhluk itu dapat meneruskan keturunannya. DijadikanNya pula suka mencari kemegahan, supaya menjadi sebab, untuk menghidupkan ilmu pengetahuan.

Demikianlah yang kita harapkan pada ilmu-ilmu tersebut.
Mengenai masalah khilafiah semata-mata, perdebatan dalam ilmu kalam, pengetahuan ilmu furu' yang ganjil-ganjil, bila ilmu itu saja yang diperhatikan, sedang yang lainnya dikesampingkan, maka ha-nyalah menam bahkan kesesatan hati dan kelalaian dari pada Allah Ta'ala. Serta berkepanjangan dalam kesesatan dan mencari kemegahan.Kecuali orang-orang yang dinaungi Allah dengan rahmat-kasihNya. Atau dicampurkan ilmu tadi, dengan ilmu-ilmu yang lain dari ilmu pengetahuan keagamaan.

Untuk itu tidak dapat kita buktikan, seperti percobaan dan penyaksian. Dari itu perhatikanlah, renungkanlah dan selidikilah supaya diperoleh kebenarannya dalam kalangan manusia dan negeri-negeri! Semoga Allah memberi pertolongan!
Pernah orang melihat Sufyan Ats-Tsuri gundah-gulana, maka ditanyakan : "Mengapakah tuan hamba demikian?"
Ia menjawab : "Kami ini menjadi toko, bagi anak-anak dunia. Seorang dari mereka selalu bersama kami, tetapi apabila telah belajar, lalu diangkat menjadi hakim (kadli), pegawai atau penguasa''.
Tugas keempat : yaitu termasJk yang halus-halus dari mengajar, bahwa guru menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang. Dan dengan cara kasih-sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau dengan cara terus terang, merusakkan takut murid kepada guru. Dan mengakibatkan dia berani menentang dan suka menerus-kan sifat yang jahat itu. Nabi صلى الله عليه وسلم. selaku mursyid segala guru, pernah bersabda :
لو منع الناس عن فت البعر لفتوه وقالوا ما نهينا عنه إلا وفيه شيء
(Lau muni'an naasu 'an fattil ba'ri lafattuuhu waqaaluu maa nuhii-naa anhu illaa wa fiihi syaiun).Artinya :"Jikalau manusia itu dilarang dari menghancurkan taik unta, maka akan dihancurkannya dengan mengatakan : "Kita tidak dilarang dari perbuatan itu kalau tak ada apa-apanya".
Keadaan yang tersebut tadi, mengingatkan anda akan kisah Adam dan Hawa as. serta larangan yang ditujukan kepada keduanya. 


Dan tidaklah kisah itu diterangkan kepadamu untuk menjadi buah pembicaraan di malam hari. Tetapi, untuk engkau sadari atas jalan ibarat.
Juga dengan sindiran itu, membawa kepada jiwa utama dan hati suci, untuk memahami tujuan dari sindiran itu. Maka dengan keinginan memperhatikan maksud dari sindiran itu, karena ingin mengetahuinya, tahulah dia bahwa hal itu tidak boleh lenyap dari perhatiannya.
Tugas kelima : seorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain dihadapan muridnya. Seumpama guru bahasa, biasanya melecehkan ilmu fiqih. Guru fiqih melecehkan ilmu hadits dan tafsir dengan sindiran, bahwa ilmu hadits dan tafsir itu adalah semata-mata me-nyalin dan mendengar. Cara yang demikian, adalah cara orang yang lemah, tidak memerlukan pikiran padanya. Guru ilmu kalam memandang sepi kepada ilmu fiqih dengan mengatakan, bahwa fiqih itu membicarakan soal furu'. Diantara lain memperkatakan tentang kain kotor wanita. Maka apakah artinya itu, dibandingkan dengan memperkatakan tentang sifat Tuhan Yang Maha Pengasih?
Inilah budi pekerti yang tercela pada para guru yang harus dijauhkan!
Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang guru yang bertanggung jawab sesuatu mata pelajaran, membuka jalan seluas-luasnya kepada muridnya untuk mempelajari mata pelajaran yang lain. Kalau dia bertanggung jawab dalam beberapa ilmu pengetahuan, maka hendaklah menjaga kemajuan si murid dari setingkat ke setingkat!


Tugas keenam : guru harus menyingkatkan pelajaran menurut tenaga pemahaman si murid. Jangan diajarkan pelajaran yang belum sampai otaknya ke sana. Nanti ia lari atau otaknya tumpul. Perhatikanlah akan sabda Nabi saw. :
 نحن معاشر الأنبياء أمرنا أن ننزل الناس منازلهم ونكلمهم على قدر عقولهم
(Nahnu ma'aasyiral anbiyaa-i umimaa an-nunzilannaasa manaazi-lahum wa nukallimahum 'alaa qadri 'uquulihim).(

Ertinya :"Kami para Nabi disuruh menempatkan masing-masing orang pada tempatnya dan berbicarra dengan mereka menurut tingkat yang mereka fahami


Kembangkanlah kepada murid itu sesuatu pengetahuan yang mendalam, apabila diketahui bahwa dia telah dapat memahaminya sendiri.

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
 ما أحد يحدث قوما بحديث لا تبلغه عقولهم إلا كان فتنة على بعضهم
(Maa ahadun yuhadditsu qauman bihadiitsin laa tablughuhu uquulu hum illaa kaana fitnatan 'alaa ba'dhihim).

Ertinya :"Apabila seseorang berbicara kepada sesuatu golongan tentang persoalan yang belum sampai otaknya ke sana, maka ia menjadi fitnah kepada sebahagian dari mereka".
Berkata Ali ra. sambil menunjuk ke dadanya :
"Di sini terkumpul banyak ilmu pengetahuan, sekjranya dapatlah saya peroleh orang-orang yang menerimanya ".
Benarlah ucapan beliau itu. Dada orang-orang baik (al-abrar) adalah kuburan ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi (al-asrar). Dari itu, tidak wajarlah bagi seorang yang berilmu, menyiarkan seluruh ilmu pengetahuannya kepada orang. Hal ini, apabila dapat dipahami oleh yang belajar dan ia belum dapat mengambil faedah dengan ilmunya. Maka betapa pula terhadap orang yang tidak dapat memahaminya? Berkata Nabi Isa as. : "Janganlah engkau gantungkan mutiara pada leher babi".
Ilmu hikmah adalah lebih mulia dari mutiara. Orang yang tidak suka kepada ilmu hikmah, adalah lebih jahat dari babi. Dari itu dikatakan : sukatlah bagi masing-masing orang, menurut ukuran akalnya. Dan timbanglah bagi masing-masing orang itu dengan tim-bangan pahamnya, sehingga selamat dan bermanfa'at. Kalau tidak ada pemahaman, maka terjadilah pertentangan karena tim-bangan akal berlebih-kurang (salah pengertian = misunderstanding).
Ditanyakan setengah ulama tentang suatu hal. Beliau tidak menjawab, lalu penanya itu bertanya lagi : tidakkah tuan mendengar sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
  من كتم علما نافعا جاء يوم القيامة ملجما بلجام من نار
(Man katama 'ilman naafi'an jaa- a yaumal qiyaamati muljaman bilijaamin min naar).
Artinya :"Barang siapa yang menyembunyikan ilmu yang bermanfa'at, niscaya datang dia pada hari qiamat, pada mulutnya ada kekang dari api neraka". (1)
Maka menjawablah ulama tersebut: "Tinggalkanlah kekang itu dan pergilah! Kalau datang kemari orang yang berpaham dan aku sem-bunyikan juga, maka letakkanlah kekang itu pada mulutku!".
Berfirman Allah Ta'ala :
 وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ
(Wa laa tu'tussufahaa-a amwaalakum).

Ertinya :"Janganlah kamu berikan kepada orang-orang yang belum mengerti (masih jahil) harta-harta mereka yang kamu dijadikan Tuhan pemeliharanya ".(S. An-Nisa', ayat 5).
Firman tersebut sebagai peringatan bahwa menjaga ilmu pengetahuan dari orang yang merusakkan dan mendatangkan kemelaratan, adalah lebih utama lagi. Dan tidaklah kurang dzalimnya antara memberikan kepada yang tidak berhak dan tidak memberikan kepada yang berhak.

Berkata seorang penyair :

"Apakah saya hamburkan mutiara, dihadapan pengembala domba?
Lalu jadilah dia tersimpan, dalam gudang penternak hewan?
Mereka itu tidak tahu, akan harga mutiara.
Dari itu saya tak mau, menggantungkannya pada leher mereka
Kalau kiranya Tuhan, mencurahkan belas kasihan. Lalu kedapatan, ahli ilmu pengetahuan.
Saya akan siarkan ilmu berfaedah, saya akan memperoleh cinta mahabbah.
Kalau tidak begitu.................
biarlah tersimpan dan tersembunyi dalam dadaku!
Memberikan ilmu kepada orang bodoh, adalah menyia-nyiakan.
Tak mau memberikannya kepada yang berhak, adalah menganiayakan.


Tugas ketujuh : kepada seorang pelajar yang singkat paham, hen-daklah diberikan pelajaran yang jelas, yang layak baginya. Janganlah disebutkan kepadanya, bahXya di balik yang diterangkan ini, ada lagi pembahasan yang mendalam yang di simpan , tidak dijelas-kan. Karena, yang demikian i^u, mengakibatkan kurang keinginan-nya pada pelajaran yang jelas itu dan mengacau-balaukan pikiran-nya. Sebab menimbulkan dugaan kepada pelajar itu nanti, seolah-olah gurunya kikir, tak mau memberikan ilmu itu kepadanya.
Sekalian orang menyangka bahwa dirinya ahli dalam segala ilmu, meskipun yang pelik. Dan tak ada seorangpun yang tak ingin memperoleh pikiran yang cerdas dari pada Allah Ta'ala. Orang yang paling dungu dan paling bodoh pun merasa gembira dengan kesempurnaan akal pikirannya.

Dan dengan ini, dapatlah diketahui, bahwa orang awwam yang terikat dengan ikatan kepercayaan Agama dan meresap dalam jiwanya 'aqidah yang berasal dari ulama-ulama terdahulu, tanpa membanding dan mena'wilkan dan dalam pada itu, bathinnya cukup baik dan akalnya tidak berpikir lebih banyak dari itu, maka tidak sewajarnyalah 'aqidah orang awwam itu dikacau-balaukan. Tetapi sewajarnyalah dia itu dibiarkan dengan urusannya. Sebab kalau diterangkan kepada si awwam itu pena'wilan-pena'wilan dari kedzahiran kata-kata maka terlepaslah apa yang terikat dalam hatinya. Dan tidak mudah lagi mengikatnya kembali dengan apa yang diikatkan oleh orang yang tertentu (orang alrkhawwash). Lalu terangkatlah dinding antara si awwam tadi dan perbuatan ma'siat. Dan bertukarlah dia menjadi setan penggoda, membinasakan dirinya sendiri dan orang lain.

Bahkan, tidak layak orang awwam itu dibawa berkecimpung ke dalam ilmu hakikat yang pelik-pelik. Tetapi, cukupkan saja dengan mengajari peribadatan, mengajari amanah dalam pekerjaannya sehari-hari. Isikanlah jiwanya dengan keinginan kepada sorga dan ketakutan kepada neraka, seperti yang tersebut dalam Al-Quran Suci.
Jangan dibangunkan pikiran mereka kearah keragu-raguan. Karena mungkin nanti keragu-raguan itu melekat dalam hatinya dan sukar dilepaskannya. Maka binasalah dan celakalah dia kesudahannya.
Pendek kata, tidak wajar pintu pembahasan di buka kepada orang awwam. Sebab dengan itu membawa kepada kekosongan pekerjaan mereka, yang menjadi sendi dari budi pekerti dan kekekalan hidup dari orang-orang tertentu.
Tugas kedelapan : guru itu harus mengamalkan sepanjang ilmunya. Jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Karena ilmu dilihat dengan mata-hati dan amal dilihat dengan mata-kepala. Yang mempunyai mata-kepala adalah lebih banyak.
Apabila amal bersalahan dengan ilmu, maka tercegahlah keadilan. Orang yang mengambil sesuatu, lalu mengatakan kepada orang lain : "Jangan kamu ambil barang itu, sebab barang itu adalah racun yang membinasakan!", adalah telah memperkosa hak orang lain. Dia akan kena tuduhan. Orang semakin bernafsu kepada benda yang dilarang mengambilnya itu, dengan mengatakan : "Kalau bukanlah benda itu baik dan berharga, masakan diambilnya!

 
Dibandingkan guru yang mursyid dengan para muridnya, adalah seumpama ukiran dari abu tanah dan bayang-bayang dari kayu. Bagaimanakah abu tanah itu terukir sendiri tanpa benda pengukir dan kapankah bayang-bayang itu lurus sedang kayunya bengkak?
Karena itu, berkatalah pantun yang seirama dengan itu :
"Janganlah engkau melarang suatu pekerti, sedang engkau sendiri melakukannya. Malulah kepada diri sendiri, dilihat orang engkau mengerjakannya!"
Berfirman Allah Ta'ala :
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
(Ata' muruunan-naasa bil birri wa tansauna anfusakum).

Ertinya :"Adakah kamu menyuruh orang lain dengan berbuat baik dan kamu lupakan dirimu sendiri!".(S. Al-Baqarah, ayat 44).

Karena itulah, dosa orang yang berilmu mengerjakan perbuatan ma'siat, adalah lebih besar dari dosa orang yang bodoh. Karena dengan terperosoknya orang yang berilmu, maka terperosoklah orang banyak yang menjadi pengikutnya.ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها  Barang siapa membuat tradisi yang buruk, maka berdosalah dia dan berdosalah orang yang menuruti tradisi itu.
Dari itu berkata Ali ra. :

"Ada dua orang yang mendatangkan bala bencana kepada kita, yaitu orang yang berilmu yang tak menjaga kehormatan dan orang yang bodoh yang kuat beribadah. Orang yang bodoh itu menipu manusia dengan peribadatannya dan orang berilmu itu menipu manusia dengan kelengahannya ".

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasih komentar