KITAB IHYA ULUMIDDIN FASAL 1 DALAM KITAB QAIDAH - QAIDAH I'TIQAD (IMAM AL GHAZALI)



BAB II (RUBU’ IBADAT)

Fasal pertama:

Menguhraikan 'aqidah (i'tiqad) Ahlus-sunnah tentang dua kalimah syahadah, iaitu salah satu dari dasar-dasar Islam.
 
Maka berkatalah kami dengan memohonkan taufiq dari pada Allah Ta'ala :

Segala pujian bagi Allah yang menjadikan, yang mengembalikan, yang berbuat barang sekehendakNya, yang mempunyai 'Arasy mulia, yang gagah perkasa, yang memberi petunjuk kepada hamba-Nya yang bersih kepada cara yang betul dan jalan benar, yang memberikan nikmat kepada mereka sesudah pengakuan tauhid dengan terjaga 'aqidahnya dari kegelapan keraguan dan kesangsian, yang membawa mereka kepada mengikuti RasuLNya yang pilihan dan menuruti peninggalan para shahabatnya yang mulia, yang dikaruniai dengan kekuatan dan kebenaran, yang menampakkan kepada mereka tentang zatNya dan af'alNya dengan segala sifatNya yang baik, yang tidak akan mengetahuinya, selain orang yang dilimpahkan pendengaran dan Dia itu yang menyaksikan, yang memperkenalkan kepada mereka bahwa zatNya itu Esa, tiada seku-tu bagiNya, tunggal tiada yang menyamaiNya, lengkap rakhmatNya, tiada yang melawaniNya, sendirian tiada yang menyekutuiNya.
Bahwa Dia itu Esa, qadim tiada bepermulaan, azali tiada berpenda-huluan, berkekalan wujudNya, tiada berkesudahan, abadi tiada berpenghabisan, tegak sendiri tiada yang menghalangiNya, kekal tiada putusNya, senantiasa dan selalu bersifat dengan segala sifat kebesaran, tiada habis dengan kehabisan dan pemisahan, dengan pergantian abad dan musnahnya zaman. Tetapi Dialah yang awal dan yang akhir, yang dhahir dan yang bathin. Dia amat mengetahui dengan tiap-tiap sesuatu.

Kemahasucian (tanzih),

Bahwa Ia tidak dengan tubuh yang merupakan, tidak jauhar (benda atau barang) yang terbatas dan berhingga. Dia tidak menyerupai dengan segala tubuh, tidak pada kira-kiraan dan tidak pada dapat dibagi-bagikan.

Tidaklah Dia itu jauhar dan tidaklah Dia ditempati oleh jauhar-jauhar. Tidaklah Dia itu aradl (sifat yang mengambil tempat) dan tidaklah Dia ditempati oleh aradl-aradl. Bahkan Dia tidak menyerupai dengan yg ada (maujud) dan tidak suatu yg maujud pun menyerupai dengan Dia. Tiadalah sepertiNya sesuatu dan tidaklah Dia seperti sesuatu. Dia tidak dibatasi oleh sesuatu batas dan tidak mengandung sesuatu jurusan, tidak diliputi oleh pihak, tidak dibatasi oleh bumi dan langit.

Dia beristiwa' di atas 'Arasy menurut firmanNya dan menurut arti yang dikehendakiNya, istiwa' yang suci dari tersentuh dengan sesuatu, suci dari tetap dan tenang, suci dari mengambil tempat dan berpindah. Dia tidak dibawa oleh 'Arasy tetapi 'Arasy dan pembawa-pembawa 'Arasylah yang dibawa dengan kelemah-lembutan qudrahNya, yang digagahi dalam genggamanNya. Dia di atas 'Arasy dan langit dan di atas segala-galanya sampai kesegala lapisan bumi, keatasan yang tidak menambahkan dekatNya kepada 'Arasy dan langit sebagaimana, tidak menambahkan jauh-Nya dari bumi dan lapisan tanah. Tetapi Dia di tingkat yang maha tinggi dari 'Arasy dan langit, sebagaimana

Dia di tingkat yang maha tinggi dari bumi dan lapisan tanah. Dan pada itu, Dia dekat sekali dengan segala yang maujud (yang ada). Dan maha dekat kepada hambaNya, lebih dekat dari urat leher hambaNya itu sendiri. Dia menyaksikan tiap-tiap sesuatu. Tidak menyerupai kehampiranNya dengan kehampiran diantara tubuh-tubuh, sebagaimana tidak menyerupai zatNya dengan segala zat tubuh-tubuh itu. Dia tidak bertempat pada sesuatu dan tidak ada sesuatu ber-tempat padaNya. Maha Suci Ia dari dipengaruhi oleh tempat, sebagaimana la maha suci daripada dibataskan oleh waktu. Tetapi adalah Dia sebelum dijadikan zaman dan tempat. Dia sekarang menurut apa yang Dia ada. Dia tidak sama dengan makhlukNya dengan segala sifatNya. Tiada sesuatu yang sama dengan zatNya dan tidaklah zatNya menyamai dengan sesuatu.

Dia maha-suci dari perobahan dan perpindahan. Tidaklah bertempat padaNya segala kejadian dan tidaklah mempengaruhiNya oleh segala yang mendatang. Tetapi senantiasalah Dia dalam segala sifat kebesaran-Nya, maha-suci dari kelenyapan dan senantiasalah Dia dalam segala sifat kesempurnaanNya, tidak memerlukan kepada penam-bahan kesempurnaan lagi. Mengenai zatNya diketahui adaNya dengan akal pikiran, dilihat zatNya dengan mata-hati sebagai suatu nikmat daripadaNya sebagai kasih-sayangNya kepada orang-orang yang berbuat baik dalam negeri ketetapan nanti dan sebagai suatu kesempurnaan daripadaNya dengan kenikmatan memandang kepada wajahNya yang mulia.

Hayah (hidup) dan qudrah (kuasa).

Dia itu hidup, yang kuasa, yang gagah, yang perkasa, tidak ditimpakan kepadaNya oleh kekurangan dan kelemahan,tidak ada padaNya lupa dan tidur, tidak didatangi oleh kebinasaan dan kematian. Dialah yang mempunyai kerajaan dan kekuasaan, yang mempunyai kemuliaan dan kebesaran. KepunyaanNya kekuasaan, keperkasaan, kejadian dan segala urusan. Segala langit itu terlipat dengan kanan-Nya, segala makhluk itu digagahi dalam genggamanNya. Dia sendirian menjadikan dan mengadakan. DijadikanNya makhluk dan perbuatannya, ditentukanNya rezeki dan ajalnya. Tidak terlepas kekuasaan dari genggamanNya dan tidak luput dari kekuasaanNya segala pertukaran keadaan. Tak terhinggakan yang dikuasaiNya dan tidak berkesudahan yang diketahuiNya.

Ilmu (mengetahui).

Dia yang mengetahui segala yang diketahui, yang meliputi dengan apa yang berlaku dari segala lapisan bumi sampai kepada langit yang tinggi. Dia maha tahu, tidak luput dari ilmuNya seberat biji sawi sekalipun, di bumi dan di langit, bahkan Dia mengetahui semut yang hitam, yang berjalan di atas batu yang hitam, dalam malam yang kelam. Dia mengetahui gerakan yang paling halus di udara terbuka. Dia tahu rahasia dan yang tersembunyi.
Dan melihat segala bisikan dalam hati kecil manusia, segala gurisan dan bathin yang tersembunyi di dalam jiwa, dengan ilmu qadim aza-li.

Senantiasalah Dia bersifat demikian pada azal-azali. Tidaklah ilmuNya dengan pengetahuan yang membaru, yang terjadi pada zatNya dengan bertempat dan berpindah.

Iradah (berkehendak).

Dia itu berkehendak, menjadikan segala yang ada, mengatur segala yang baru. Maka tidaklah berlaku pada alam yang nyata ini dan yang tidak nyata, sedikit atau banyak, kecil atau besar, baik atau buruk, bermanfa'at atau melarat, iman atau kufur, pengakuan atau mungkir, kemenangan atau kerugian, bertambah atau berkurang, tha'at atau ma'siat, selain dengan qadla dan qadarNya (ketetapan dan taqdirNya), hikmah dan kehendakNya. Apa yang dikehendakiNya ada. Yang tidak dikehendakiNya tidak ada. Tak ada yang keluar dari kehendakNya meskipun palingan muka orang yang memandang dan gurisan hati dari seseorang manusia. Tetapi Dialah yang memulai dan yang mengulangi, berbuat sekehendakNya, tak ada yang menolak dari perintahNya dan tak ada yang dapat berbuat akibat bagi ketetapanNya.

Tak ada yang dapat melarikan seorang hamba dari kema'siatanNya, selain dengan taufiq dan rahmatNya. Tak ada kekuatan untuk mentha'atiNya selain dengan kehendak dan iradahNya. Kalau berkumpullah insan dan jin, malaikat dan setan, untuk menggerakkan di alam ini sesuatu benda yang kecil saja atau menempatkannya tanpa iradah dan kehendakNya, maka akan lemahlah mereka itu daripadanya.
IradahNya itu berdiri pada zatNya dalam jumlah sifat-sifatNya. Senantiasalah Dia demikian, bersifat dengan iradah. Dia berkehendak pada azal untuk adanya segala sesuatu, pada waktu-waktunya yang ditaqdirkanNya. Lalu terdapatlah segala sesuatu itu pada waktunya, menurut kehendakNya pada azal, tidak terdahulu dan tidak terkemudian. Bahkan terjadi sesuai dengan ilmu dan iradahNya, tanpa pertukaran dan perubahan, Dia mengatur segala urusan, tidak dengan tartib pikiran dan pengaruh zaman Karena itu, tidaklah Dia dipengaruhi oleh apapun juga.

Sama' dan bashar (mendengar dan melihat).

Dia yang mendengar lagi yang melihat. Dia mendengar dan melihat, yang tidak luput dari pendengaranNya yang terdengar, meskipun tersembunyi. Tidak lenyap dari penglihatanNya yang terlihat, meskipun sangat halus. Tidak menghalangi pendengaranNya oleh kejauhan.
Tidak menolak penglihatanNya oleh kegelapan. Dia melihat tanpa biji mata dan kelopak mata. Dia mendengar tanpa anak telinga dan daun telinga, sebagaimana Dia tahu tanpa hati dan bertenaga tanpa anggota badan dan menjadikan tanpa perkakas. Karena tidaklah sifatNya menyerupai sifat makhluk, sebagaimana zatNya tidak menyerupai zat makhluk.

Kalam (berkata-kata).

Dia yang berkata-kata, yang menyuruh dan melarang, yang berjanji balasan baik bagi orang yang berbuat baik dan yang berjanji balasan buruk bagi orang berbuat jahat, dengan kalamNya yang azali, qadim, berdiri dengan zatNya, yang tidak menyerupai dengan kalam makhluk. Tidaklah kalamNya itu dengan suara yang datang dari pembawaan udara atau penggosokan beberapa benda. Tidak dengan huruf yang berputus-putus dengan melipatkan bibir atau menggerakkan lidah. Dan sesungguhnya Al-Qur-an, Taurat, Injil dan Zabur adalah kitab-kitabNya yang diturunkan kepada para rasulNya as.

Dan Al-Quran itu dibacakan dengan lidah, dituliskan pada lembaran-Iembaran kertas dan dihafalkan di dalam hati.
Dalam pada itu, Al-Qur-an itu qadim, berdiri dengan zat Allah Ta'ala. Tidak menerima pemisahan dan penceraian dengan sebab berpindah ke dalam hati dan kertas. Nabi Musa as. mendengar kalam Allah, tanpa suara dan huruf, sebagaimana orang-orang abrar (orang-orang yang selalu berbuat kebaikan) melihat Allah Ta'ala di akhirat dengan tidak berjauhar dan ber'aradl.

Apabila segala sifat yang tersebut tadi ada pada zat Allah Ta'ala, maka adalah Allah Ta'ala itu, yang hidup dengan hidupNya(hayah), yang mengetahui dengan ilmuNya ('ilmun), yang berkuasa dengan qudrahNya, yang berkehendak dengan iradahNya, yang mendengar dengan sama'-Nya, yang melihat dengan basharNyadan yang berkata-kata dengan kalamNya. Tidak dengan semata-mata zat.

Af'al (perbuatan-perbuatan).

Tidak adalah yang maujud selain Dia. Yang lain itu ada dengan perbuatanNya, yang melimpah dari keadilanNya dengan bentuk yang sebaik-baiknya, sesempurna-sempurnanya dan seadil-adilnya.

Dia maha bijaksana dalam segala perbuatanNya, maha adil dalam segala hukumNya. Tak dapatlah dibandingkan keadilanNya dengan keadilan hambaNya. Karena hamba itu, tergambar daripadanya kedhaliman, dalam mengurus hak milik orang lain. Dan tidak tergambar kedhaliman daripada Allah Ta'ala. Sebab tidak dijumpai milik bagi yang lain, dari Allah, sehingga ada pengurusanNya itu dhalim.

Seluruhnya yang lain dari Allah, yaitu insan, jin, malaikat, setan, langit, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, barang-beku, jauhar, 'aradl, yang diketahui dan yang dirasa, adalah baharu (haadits), yang dijadikan Allah dari tidak ada dengan qudrahNya dan yang diciptakan-Nya dari tidak ada sama-sekali. Karena pada azali hanyalah Dia yang ada yang Maha Esa dan yang lainNya tidak ada. Maka kemudian, dijadikanNya makhluk, untuk menyatakan qudrahNya, membuktikan bagi yang telah lalu dari IradahNya dan kebenaran kalimahNya pada azali.
Bukan karena Dia memerlukan dan berhajat kepada yang baharu itu. Dia berkemurahan dengan menjadikan, menciptakan dan menugaskan, bukan dari kewajiban kepadaNya. Dan mengeruniakan keni'matan dan perbaikan, bukan suatu keha-rusan kepadaNya.

Maka bagiNyalah keutamaan, kebaikan, keni'matan dan kemurahan. Karena Dia berkuasa menimpakan bermacam-macam 'azab kepada hambaNya dan mencobainya dengan berbagai kesengsaraan dan malapetaka. Jika dibuatNya demikian, maka adalah itu keadilan daripadaNya, bukan kekejian dan kedhaliman. Dia memberi pahala kepada hambaNya yang mu'min atas ketha'atan adalah karena kemurahan dan janjiNya. Bukan karena menjadi hak dari orang mu'min yang tha'at itu dan bukan suatu keharusan atas Allah Ta'ala. Karena tidak wajib atasNya berbuat untuk seseorang dan tidak tergambar daripada Allah sesuatu kedhaliman. Tidak harus ada hak seseorang atas Allah. Dan hak Allah atas makhluk wajib pada mentha'atiNya, dengan diwajibkanNya disampaikan oleh lisan para nabiNya. Tidak dengan semata-mata akal, tetapi Ia mengutuskan rasul-rasul dan melahirkan kebenaran mereka dengan mu'jizat-mu'jizat yang nyata. Lalu mereka itu menyampaikan perintahNya, laranganNya, wa'adNya (janji pahala kepada yang berbuat kebajikan) dan wa'idNya (janji siksa kepada yang berbuat kejahatan). Maka wajiblah atas makhluk membenarkan rasul-rasul itu, akan apa yang dibawanya.

Erti kalimah kedua, yaitu mengakui kerasulan rasul-rasul membawa risalah :

Bahwa Allah Ta'ala mengutuskan seorang nabi yang ummi (tak tahu tulis baca) dari suku Quraisy, bernama Muhammad saw. membawa risalah kepada seluruh Arab dan 'Ajam (1), jin dan insan. Maka dengan syari'at yang dibawanya itu, menjadi mansukhlah segala syari'at yang terdahulu, kecuali hal-hal yang" ditetapkan berlakunya oleh syari'at yang baru itu.
Dan dilebihkanNya Nabi Muhammad saw. atas nabi-nabi yang lain. DijadikanNya dia menjadi penghulu segala manusia dan tidak diakuiNya kesempurnaan iman dengan syahadah tauhid saja, yaitu mengucapkan "LAA ILAAHA ILLALLAAH" sebelum disambung dengan syahadah rasul. Yaitu mengucapkan "MUHAMMADUR RASUULULLAAH.

DiharuskanNya seluruh makhluk membenarkan Muhammad saw. itu dalam segala perkhabaran yang diknabarkannya, tentang urusan dunia dan akhirat. Dan tidak diterimaNya iman seseorang dari hambaNya, sebelum beriman dengan apa yang dikhabarkan Muhammad saw. tentang hal-hal sesudah mati. Yaitu yang pertama-nya, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir (2). Kedua malaikat ini adalah dua pribadi yang hebat menakutkan, mendudukkan dengan baik akan hamba Allah dalam kuburnya dengan ruh dan jasad.
Lalu menanyakan tentang tauhid dan risalah, dengan mengatakan : "Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa Nabimu?".

Kedua malaikat itu adalah pembawa cobaan di dalam kubur. Pertanyaannya tadi, adalah cobaan yang pertama sesudah mati.
Dan bahwa diimani dengan adanya 'azab kubur (1) Dan Allah itu benar, hukumNya adil menurut sekehendakNya atas tubuh dan ruh.

Dan bahwa diimani dengan adanya neraca timbangan amal yang mempunyai dua daun dan lidah neraca (2). Tentang besarnya adalah seumpama lapisan langit dan bumi, yang ditimbang padanya segala amalan dengan qudrah Allah Ta'ala. Yang pokok pada masa itu, meskipun seberat semut yang kecil dan biji-bijian yang halus, adalah untuk membuktikan kesempurnaan keadilanNya.

Dan diletakkan lembaran amal yang baik dalam bentuk yang bagus pada daun neraca dari nur. Lalu beratlah neraca dengan amalan itu, menurut derajat nya di sisi Allah Ta'ala dengan karuniaNya, dan dilemparkanlah lembaran amal yang keji dalam bentuk yang buruk pada daun neraca kegelapan. Maka ringanlah daun neraca itu dengan keadilan Allah.

Dan bahwa diimani, bahwa titian A sh-shiraatal-mustaqlim (3) itu benar adanya. Yaitu titian yang memanjang, melalui neraka jahannam, lebih tajam dari pedang, lebih halus dari ram but, terpe-leset kaki orang-orang kafir di atasnya dengan hukum Allah Ta'ala. Lalu mereka jatuh tersungkur ke dalam neraka. Dan tetaplah di atasnya kaki orang-orang mu'min dengan karunia Allah. Lalu mereka dibawa ke negeri ketetapan (sorga).

Dan bahwa diimani dengan al-haudl-al-mauruud. Yaitu kolam Nabi Muhammad saw., di mana orang-orang mu'min akan minum padanya, sebelum masuk sorga dan sesudah melewati titian Ash-shiraatal-mustaqiim (4).

Barangsiapa meminum padanya sekali minum, maka tidak akan haus sesudahnya lagi selama-lamanya. Kolam itu lebarnya seperjalanan sebulan. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu.Sekeliling nyacerek-cerek, jumlah-nya se ban yak bin tang di langit. Dalam kolam itu terdapat dua pancuran(1)yang memancur padanya air dari sungai Al-Kausar.

Dan bahwa diimani dengan hitungan amalan (hisab) dan berlebih kurangnya manusia di dalam penghisaban itu yang terbagi kepada : orang yang diminta keterangan pada hisab, yang diperlunak pada hisab dan orang yang masuk sorga tanpa hisab.
Yaitu orang-orang muqarrabun (orang-orang yang mendekati Allah dengan beramalan banyak).

Maka Allah menanyakan siapa yang dikehendakiNya dari para nabi tentang penyampaian risalah dan siapa yang dikehendakiNya dari orang-orang kafir tentang pendustaan mereka kepada rasul-rasul. Allah menanyakan orang-orang yang berbuat bid'ah dari sunnah dan menanyakan orang muslim tentang amalan.

Dan bahwa diimani, bahwa orang-yang bertauhid itu dikeluarkan dari neraka sesudah habis penyiksaan, sehingga tidak tinggal di dalam neraka jahannam seorangpun yang bertauhid dengan karunia Allah Ta'ala. Maka tidak ada orang yang bertauhid kekal di dalam neraka.

Dan bahwa diimani,akan memperoleh syafa'ah iz) nabi-nabi, kemudian syafa'ah ulama-ulama, kemudian syafa'ah syuhada', kemudian syafa'ah orang mu'min yang lain menurut kemegahan dan kedudukannya di sisi Allah Ta'ala. Dan orang mu'min lainnya, yang tak ada baginya yang memberikan syafa'ah, maka dia dikeluarkan dari neraka dengan karunia Allah 'Azza wa Jalla. Maka tak ada seorang mu'minpun yang kekal dalam neraka. Siapa saja yang dalam hatinya seberat biji sawi keimanan akan dikeluarkan dari neraka itu.

Dan bahwa diimani kelebihan para shahabat ra. dan urutannya.

Bahwa manusia yang terutama sesudah Nabi saw., ialah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Usman, kemudian Ali, diridhai Allah kiranya mereka itu sekalian. p)
Dan sesungguhnya hendaklah berbaik sangka dengan sekalian shahabat Nabi saw. dan memberi pujian kepada mereka, sebagaimana Allah swt. dan Rasulullah saw. memberi pujian kepada mereka itu sekalian.

Semuanya itu, termasuk diantara apa yang dibawakan hadits dan disaksikan oleh kata-kata peninggalan dari shahabat dan orang-orang yang terdahulu (atsar).

Barangsiapa mempercayai yang demikian itu dengan penuh keyakinan, maka adalah dia diantara ahli kebenaran, pendukung sunnah, terpisah dari rombongan kesesatan dan golongan bid'ah.
Kepada Allah Ta'ala kita meminta kesempurnaan keyakinan dan kebagusan ketetapan dalam Agama, untuk kita sendiri dan untuk kaum muslimin seluruhnya dengan rakhmat Allah. Dia amat mengasihani dari segala yang mengasihani. Kiranya Allah mencu-rahkan rakhmat kepada penghulu kita Muhammad dan kepada segala hambaNya yang pilihan.


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasih komentar