PAPARAN TASAWWUF DALAM AL QUR’AN : INDUK



Seringkali dalam proses menuju Allah Ta’ala manusia berfikir tentang Tuhan, bertafakkur, merenung. Terkadang manusia memikirkan nasib dirinya yang malang, “kenapa Tuhan memperlakukan saya demikian, kenapa Tuhan tidak adil kepada saya”. Tetapi mengapa manusia tidak pernah mencari kira-kira apa dasar policy/kebijakan Tuhan menciptakan alam semesta, menciptakan sebuah variasi sosial yang beragam, mengapa diberi bencana, mengapa diberi ni’mat, mengapa negeri ini hancur lebur seperti begini, yang semuanya tentu muncul dari ketetapan Allah Ta’ala. Apapun yang hadir dan terjadi di alam semesta pasti atas ijin Allah Ta’ala. Iblispun juga hadir dengan ijin Allah Ta’ala. Tidak ada yang bergerak tanpa diijinkan atau dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Yang baik maupun yang kita anggap buruk—semua saja yang hadir di alam semesta—hadir dengan kehendak Allah Ta’ala. Tidak mungkin sesuatu itu terjadi kreasinya sendiri dan mandiri tanpa Allah kehendaki.

Sebenarnya di balik peristiwa yang mengguncangkan, menggelitik, menampar, memfrustasikan kita masing-masing itu tak ada yang tak datang dari Allah Ta’ala. “Jika Tuhanku mengijinkan sebuah petaka menimpa saya, pasti bukannya tak bertujuan”. Sayangnya cambuk tersebut tidak pernah membuat kita bertanya secara fundamental. Kita dibuat sibuk habis-habisan di dalam keseharian, persoalan yang hadir bak benang kusut yang sulit diurai; kita terjebak lemas dalam jeratan dan tak sanggup bahkan sekadar untuk mengajukan pertanyaan sederhana. Bahkan mungkin sulit untuk sekedar bergumam: “harus menuju kemanakah kita?”.

Tema sentral pengajian ini adalah “Tasawwuf dalam Al-Qur’an”. Mengapa demikian? Seorang Muslim pada dasarnya tidak diperkenankan mengikuti sebuah persoalan yang tak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, terlebih bagi hamba yang ingin kembali kepada Tuhannya, berjalan menuju Allah Ta’ala. Mengingat bahwa Al-Qur’an adalah tuntunan-Nya, peta transformasi diri sang hamba untuk menuju Tuhannya.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS Al-Israa’ [17]: 36)

Bagaimanakah caranya menuju Allah Ta’ala? Hal ini bukanlah persoalan yang sederhana. Allah menuntut kedewasaan kita dalam menjawab persoalan besar ini. Jika perkara kembalinya sang hamba hanya merupakan sesuatu yang bersifat sampingan, dianggap sesuatu yang sambil lalu, maka kesungguhan dan kedewasaan kita dalam menuju-Nya patut dipertanyakan.

Dalam menemui kembali sesuatu yang kita cintai maka sepatutnya kita akan sangat respek dan amat perhatian pada informasi yang berkenaan dengan sesuatu tersebut. Sebagai hamba yang mau menuju Allah tentu kita akan sangat memperhatikan segala yang datang dari Sesuatu yang kita tuju. Apapun pesan yang datang dari-Nya akan dicari dengan amat kehausan. Sudah demikiankah kita? Lain halnya jika hati dan pikiran tidak menuju sesuatu; boleh jadi Al-Qur’an tidak pernah dibuka karena kurang mendesak dan kurang penting.

Kedewasaan kita akan sungguh-sungguh diuji dalam mencari-Nya. Dari hal yang paling sederhana, yaitu pengharapan harian kita, hingga jejak-jejak yang Ia tinggalkan dalam Al-Qur’an harus kita lacak dengan kesungguhan penuh. Jika sebelumnya kita biasa membuka Al-Qur’an, melafazhkan bacaannya, hingga berusaha membaca terjemahannya, maka pencarian lebih lanjut mendesak kita untuk mulai mengenali apakah gagasan Al-Qur’an. Apakah ide dasarnya, apa saja informasi yang terkandung di dalamnya, seperti apa format distribusi informasinya (yang memungkinkan kita memahami struktur gagasan Al-Qur’an). Lepas dari tepat atau tidaknya terjemahan Al-Qur’an, pernahkah kita menuntaskan seperempat atau paling tidak sepersepuluh Al-Qur’an?

Kita perlu studi tentang bagaimana cara berkomunikasi antara hamba dengan Tuhan, bagaimana perambatan/penjalaran (propagasi) informasinya. Al-Qur’an membicarakan semua informasi itu: perangkat apa yang dipakai untuk berkomunikasi, bagaimana cara menggunakannya, seperti apa propagasi informasinya. 

Hal demikian diurai Al-Qur’an agar hamba tak tersesat dalam perjalanan menuju Tuhannya. Seringkali hamba menyembah sesuatu yang dipersangkakan sebagai Tuhan padahal bukan. Seperti kambing yang berkaca di air dan melihat matahari di dalam telaga padahal tentunya matahari ada di atas. Seperti kabayan menganggap laut teramat dalam karena melihat bayangan langit di atas permukaan air sehingga ia takut menyeberang. Tuhan manakah yang kita cari? Tuhan (ilah) itu banyak, ada jabatan yang dipertuhankan, kekayaan yang dipertuhankan, perempuan yang dipertuhankan, harga diri yang dipertuhankan, lantas Tuhan manakah yang akan kita tuju?

Bagaimanapun hari ini kita diuji tentang Al-Qur’an. Awalnya mungkin kita tidak tertarik kepada Al-Qur’an karena kita tak paham bahasanya. Mungkin bahasanya terlalu rumit, aneh, tak runtut, melompat-lompat, membosankan, menjemukan, tidak rapi, dan sebagainya; memang begitulah desain Al-Qur’an. Tetapi kalau kita paham artinya, Insya Allah nanti setelah pengajian ini selesai, maka Al-Qur’an akan nampak lebih indah dari yang kita bayangkan sebelumnya.

Mulai saat ini perlu kita lebih sering menelaah Al-Qur’an, meskipun sekadar terjemahannya. Lebih baik lagi jika dapat memahami bahasa Arabnya; karena antara teks arab dengan terjemahan umum berjarak cukup jauh meskipun sekian puluh persen gagasan dasarnya terungkap oleh terjemahan.


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasih komentar