Nuri Bey adalah seorang Albania yang suka termenung dan disegani, yang menikahi wanita berusia jauh lebih muda darinya.
Suatu malam ketika ia pulang ke rumah lebih awal dari biasanya, seorang pelayan yang setia datang padanya dan berkata:"Istri Tuan berperilaku mencurigakan. Ia berada di kamarnya dengan sebuah peti besar, cukup besar untuk ditempati seorang lelaki; peti itu dulunya milik nenek Tuan. Mestinya peti itu hanya berisi beberapa sulaman kuno. Hamba yakin di dalamnya kini terdapat lebih dari sekadar sulaman. Tetapi nyonya tak akan mengizinkan hamba, pelayanmu yang paling setia, untuk melihat ke dalam peti."
Nuri pergi ke kamar istrinya, dan menemukannya duduk sedih di sebelah peti kuno besar itu.
"Boleh aku menengok isi peti itu?"
"Karena kecurigaan seorang pelayan, atau karena engkau tidak percaya padaku?""Bukankah lebih mudah bila engkau membukanya saja tanpa memusingkan alasanku?" timpal Nuri.
"Tidak bisa."
"Apa petinya terkunci?"
"Ya."
"Di mana kuncinya?"
Ia menunjukkan kunci itu, "Usir pelayan itu, dan akan kuberikan kunci ini padamu."
Pelayan itu dipecat. Wanita itu menyerahkan kunci peti lalu keluar kamar dengan pikiran galau.
Nuri Bey berpikir lama. Kemudian, dipanggilnya empat orang tukang kebunnya. Malam itu juga mereka bersama sama mengangkat peti itu tanpa membukanya ke tempat yang jauh, dan menguburnya.
Masalah itu tak pernah diungkit-ungkit lagi.
Kisah yang menggelitik ini yang berulang kali disebutkan memiliki makna mendalam di samping pesan moral yang jelas, merupakan bagian dari naskah para darwis pengembara (Kalandar), yang orang suci panutannya adalah Yusuf dari Andalusia dari abad ketiga belas.
Dahulu jumlah mereka sangat banyak di Turki. Kisah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dalam versi yang lebih dikembangkan, lewat buku Stambul Nights karya H.G. Dwight yang terbit di Amerika Serikat tahun 1916 dan 1922.