KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 13: Persinggahan Iyyaka Na'budu di dalam Hati Saat Mengadakan Perjalanan kepada Allah



Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
 
Banyak orang yang mensifati persinggahan ini dan menyebutkan
bilangannya. Di antara mereka ada yang menyebutnya seribu, ada pula
yang menyebutnya seratus, ada yang kurang dan ada yang lebih. Masing masing
orang mensifatinya menurut perjalanan yang dilakukannya.

Berikut ini akan saya sebutkan secara ringkas namun mutlak masing-masing di
antara persinggahan ini.

Yang pertama adalah al-yaqzhah, artinya kegalauan hati setelah
terjaga dari tidur yang lelap. Hal ini sangat penting dan membantu pembenahan
perilaku. Siapa yang merasakannya, berarti dia telah merasakan
satu keberuntungan. Jika tidak, berarti dia tetap dicengkeram kelalaian.
Jika sudah tersadar, dia diberi bekal hasrat untuk memulai perjalanannya
dan menuju persinggahannya yang pertama dan ke tempat dimana dia
ditawan.

Jika perjalanan sudah dimulai, maka hati beralih ke persinggahan alazm,
yaitu tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap menghadapi
segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantarkan
ke tujuan. Seberapa jauh seseorang memiliki kesadaran, maka se-jauh
itu pula tekadnya, dan seberapa jauh tekad yang dimilikinya, maka sejauh
itu pula persiapan yang dilakukannya.

Jika sudah terjaga, maka dia memiliki al-fikrah,yaitu pandangan hati
yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia belum
memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana.

Jika fikrah-nya sudah benar, tentu dia memiliki al-bashirah,yaitu cahaya 
di dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang 
telah dijanjikan Allah terhadap para wali dan musuh-Nya. Dengan semua ini
seakan-akan dia bisa melihat apa yang terjadi pada hari akhirat, semua
orang dibangkitkan dari kuburnya, para malaikat didatangkan, para nabi,
syuhada dan shalihin dihadirkan, jembatan dibentangkan, musuh-musuh
dikumpulkan, api neraka dikobarkan. Di dalam hatinya seakan ada mata
yang dapat melihat berbagai kejadian akhirat, dan dia juga melihat bagaimana
keduniaan ini yang begitu cepat berlalu.

Al-Bashirah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati,
sehingga seseorang bisa melihat hakikat pengabaran para rasul, seakanakan
dia bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dengan begitu dia
bisa mengambil manfaat dari seruan para rasul dan melihat adanya bahaya
yang mengancamnya jika dia bertentangan dengan mereka.

Al-Bashirah itu didasarkan pada tiga derajat, siapa yang dapat menyempurnakan
tiga derajat ini, berarti dia dapat menyempurnakan bashirah-
nya, yaitu: Pertama, bashirah tentang asma' dan sifat. Kedua, bashirah
tentang perintah dan larangan. Ketiga, bashirah tentang janji dan
ancaman.

Bashirah tentang asma' dan sifat-sifat Allah, artinya imanmu tidak
dipengaruhi syubhat yang bertentangan dengan sifat-sifat yang diberikan
Allah kepada Diri-Nya sendiri dan juga yang disifati Rasul-Nya. Sebab
syubhat dalam hal ini sama dengan keragu-raguan tentang wujud Allah.
Tingkatan bashirah yang dimiliki masing-masing manusia berbe-dabeda,
tergantung dari tingkat pengetahuan mereka tentang pengabaran
Nabawy dan pemahamannya serta ilmu tentang syubhat yang bertentangan
dengan hakikat-hakikatnya.

Orang yang paling lemah bashirah-nya adalah para teolog batil yang
biasanya suka mencela orang-orang salaf, karena mereka tidak mengetahui  
nash dan tidak memahaminya. Syubhat mengendap di dalam hati mereka. 

Orang-orang awam yang bukan termasuk orang-orang Mukmin yang 
sesungguhnya, justru lebih sempurna daripada para teolog itu, lebih kuat imannya,
lebih mempercayai wahyu dan lebih tunduk kepada kebenaran.

Bashirah tentang perintah dan larangan artinya membebaskan hati
dari penentangan karena melakukan ta'wil, taqlid atau mengikuti hawa
nafsu, sehingga di dalam hatinya tidak ada syubhat yang bertentangan
dengan ilmu tentang perintah dan larangan Allah, tidak pula dikuasai
nafsu yang menghalanginya untuk melaksanakan perintah dan larangan
itu, tidak pula mengikuti taqlid yang membuatnya merasa tidak perlu
berusaha menggali hukum dari nash.

Bashirah tentang janji dan ancaman artinya engkau mempersaksi-kan
penanganan Allah terhadap apa pun yang dilakukan setiap manusia, yang
baik maupun yang buruk, di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan
konsekuensi Ilahiyah dan Rububiyah-Nya, keadilan dan hikmah-Nya.
Keraguan tentang hal ini sama dengan keraguan tentang Uluhiyah dan
rububiyah-Nya, bahkan keraguan tentang wujud-Nya.

Orang yang berada di persinggahan bashirah mempunyai alternatif
jalan lain, yaitu bashirah yang membebaskannya dari kebingungan.
Jika seseorang sudah sadar dan memiliki bashirah, maka dia akan
mengambil maksud dan kehendak yang tulus, menghimpun maksud dan
niat untuk melakukan perjalanan kepada Allah. Setelah tahu dan yakin
tentang hal ini, maka dia mulai melakukan perjalanan, membawa bekal
menuju hari datangnya pembalasan, membebaskan diri dari rintangan
yang menghambat perjalanannya.

Maksud boleh dibagi menjadi tiga tingkatan:

Pertama, maksud yang membangkitkan keteguhan dan membebaskan
diri dari keragu-raguan.

Kedua, maksud yang karenanya semua rintangan akan disingkirkan
dan semua penghalang akan dihadapi.

Ketiga, maksud yang mendorongnya mencari pengetahuan dan mau
men-dengarkan nasihat dari orang yang lebih bijaksana.

Jika maksud sudah kuat, maka ia berubah menjadi tekad yang bu-lat,
lalu mengharuskannya memulai perjalanan sambil disertai tawakal kepada
Allah. Firman-Nya,

"Kemudian apabila kamu sudah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah." (Ali Imran: 159).

Al-Azm artinya maksud yang bulat dan yang mendorong munculnya
aksi. Karena itu ada yang menganggap tekad yang bulat ini merupa-kan
permulaan aksi untuk mencari maksud dan tujuan. Pada hakikatnya tekad
ini merupakan kekuatan kehendak yang sudah berhimpun untuk
mengadakan aksi.

Tekad ini ada dua macam:

Pertama, tekad orang yang hendak mengayunkan langkah melakukan
perjalanan atau bisa juga disebut permulaan perjalanan.

Kedua, tekad saat berada di dalam perjalanan. Hal ini sifatnya lebih
khusus lagi.

Pada jenis ini seseorang perlu membedakan antara apa yang menjadi
haknya dan kewajibannya, agar dia tahu apa yang memang menjadi
bagiannya dan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu muhasabah sebelum
taubat. 

Tetapi pengarang Manazilus-Sa'irin menempatkan taubat sebelum
muhasabah.

Yang perlu diketahui bahwa persinggahan ini jangan disamakan
dengan persinggahan menurut kenyataan, dimana seseorang berada di satu
tempat itu lalu meninggalkannya begitu saja untuk berpindah ke tempat
berikutnya. Tentunya engkau juga tahu bahwa al-yaqzhah (kesadaran)
harus selalu menyertai dan tidak bisa ditinggalkan, di mana pun
tempatnya, begitu pula al-bashirah, al-iradah, al-azm maupun at-taubah.
Seperti wajarnya taubat yang ada di akhir, maka ia juga harus ada di permulaannya
dan bahkan ia harus ada di mana-mana. Memang Allah menjadikan
taubat ini sebagai bagian akhir dari keadaan hamba-hamba-Nya
yang khusus, seperti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para
shahabat beliau dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Allah befirman
berkaitan dengan perang Tabuk, peperangan terakhir yang mereka lakukan,
dan sekaligus merupakan perjalanan yang paling berat bagi mereka,

"SesungguhnyaAllah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin
dan Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati
segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima
taubat mereka itu." (At-Taubah: 117).

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasih komentar