KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 14: MUHASABAHDAN PILAR-PILARNYA



Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Siapa pun yang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak lepas dari empat
persinggahan, yaitu al-yaqzhah, al-bashirah, al-fikrah dan alazm.

Empat persinggahan ini tak ubahnya pilar bagi suatu bangunan.

Perjalanan tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan melewati empat
persinggahan ini, tak ubahnya perjalanan secara nyata yang harus melewati
beberapa etape. Orang yang hanya menetap di kampung halaman-nya, tidak
berpikir untuk mengadakan perjalanan kecuali dia sadar dari kelalaiannya
untuk mengadakan perjalanan. Jika sudah memiliki kesadaran, maka dia
harus mengetahui segala urusan tentang perjalanannya, bahaya, manfaat
dan kemaslahatannya. Kemudian dia berpikir untuk mengadakan
persiapan dan mencari bekal. Kemudian dia harus memiliki tekad yang
bulat. Jika tekad dan maksudnya sudah bulat, maka dia mulai beralih ke
persinggahan muhasabah, atau memilah antara bagiannya dan
kewajibannya. Dia boleh mengambil apa yang menjadi bagiannya dan
harus melaksanakan kewajibannya. Sebab dia akan mengadakan
perjalanan dan tidak akan kembali lagi.

Dari muhasabah dia beralih ke taubah. Sebab jika dia sudah menghisab
dirinya, tentu dia akan mengetahui hak yang harus dia penuhi, lalu
keluar untuk memberikan hak itu kepada yang berhak menerimanya.

Inilah hakikat taubat. Tetapi dengan mendahulukan muhasabah akan
menjadi lebih baik. Kalaupun mendahulukannya juga tidak apa-apa, karena
muhasabah tak bisa dilakukan kecuali setelah ada taubat yang sebenarnya.
Yang pasti, taubat itu ada di antara dua muhasabah, yaitu muhasabah
sebelum taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah sesudah taubat yang
hukumnya harus tetap dijaga. Taubat akan tetap terjaga jika berada di antara
dua muhasabah ini, sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat)." (Al-Hasyr: 18).

Maksud "Memperhatikan" dalam ayat ini ialah memperhatikan kelengkapan
persiapan untuk menyongsong hari akhirat, mendahulukan apa
yang bisa menyelamatkannya dari siksa Allah, agar wajahnya menjadi bersih
di sisi Allah. Umar bin Al-Khaththab pernah berkata, "Hisablah diri kalian
sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang
dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung."

Menurut Abu Isma'il, pengarang Manalizus-Sa'irin, ada tiga pilar
yang menopang muhasabah, yaitu:


1 Membandingkan antara Nikmat Allah dan Kejahatanmu

Maksudnya, engkau harus membandingkan apa yang berasal dari
Allah dan apa yang berasal dari dirimu. Dengan begitu engkau akan
mengetahui letak ketimpangannya, dan engkau juga akan mengetahui
bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi, dan di
sisi lain adalah kehancuran dan kerusakan.

Dengan membandingkan seperti ini engkau bisa mengetahui bahwa
Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya, dan hamba adalah
hamba dalam pengertian yang sebenarnya. Engkau juga akan mengetahui
hakikat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rububiyah Allah, hanya
Allahlah yang memiliki kesempumaan, setiap nikmat berasal dari-Nya
sebagai karunia, dan siksaan juga berasal dari-Nya yang ditimpakan
secara adil. Jika engkau tidak membuat perbandingan seperti ini, tentu
engkau tidak akan bisa mengetahui hakikat dirimu sendiri dan Rububiyah
Pencipta jiwamu. Jika engkau membuat perbandingan seperti ini, maka
engkau akan tahu bahwa jiwamu adalah sumber segala kejahatan dan
kekurangan. Sedangkan hukum yang dimilikinya adalah kebodohan dan
kezhaliman. Andaikan tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang
mensucikan jiwa itu, tentu ia tidak akan menjadi suci sama sekali.
Kemudian engkau juga bisa membandingkan antara kebaikan dan
keburukan. Sehingga dengan membandingkan ini engkau bisa mengetahui
mana yang lebih banyak dan mana yang lebih dominan di antara
keduanya. Perbandingan yang kedua ini merupakan perbandingan antara
perbuatanmu dan apa yang datang dari dirimu secara khusus.

Seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak
memiliki tiga indikator:

1. Cahaya hikmah
2. Buruk sangka terhadap did sendiri
3. Membedakan antara nikmat dan ujian.

Cahaya hikmah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam
hati orang-orang yang mengikuti para rasul. Dengan kata lain, cahaya
hikmah adalah ilmu yang dimiliki seseorang sehingga dia bisa membedakan
antara yang haq dan batil, petunjuk dan kesesatan, mudharat dan
manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang buruk.
Dengan cahaya hikmah ini seseorang bisa melihat tingkatanrtingkatan
amal, mana yang harus dipentingkan dan mana yang tidak dipenting-kan,
mana yang harus diterima dan mana yang ditolak. Jika cahaya ini kuat,
maka muhasabah juga akan kuat dan sempurna. Buruk sangka terhadap
diri sendiri amat diperlukan, sebab baik sangka terhadap diri sendiri akan
menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan
sebagai kebaikan, aib sebagai kesempumaan. Membedakan nikmat dari
ujian, artinya membedakan nikmat yang dilihatnya sebagai kebaikan dan
kasih sayang Allah serta yang bisa membawanya kepada kenik-matan
yang abadi, dan membedakannya dengan nikmatyang hanya seke-dar
sebagai tipuan. Sebab berapa banyak orang yang tertipu dengan nik-mat,
sementara dia tidak menyadarinya, tertipu oleh pujian orang-orang bodoh,
terpedaya oleh limpahan Allah, dan justru kebanyakan manusia termasuk
dalam kelompok yang kedua ini.

Tiga indikator ini merupakan tanda kebahagiaan dan keselamatan.
Jika tiga hal ini dilaksanakan secara sempurna, maka seseorang bisa
mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya. Selain itu ada ujian yang
berupa nikmat atau cobaan berupa limpahan pemberian. Maka hendaklah
setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan
hujjah, dan banyak orang yang timpang dalam membedakan dua hal ini.


2. Membedakan antara Bagian dan Kewajiban

Harus ada pemilahan antara hak-hak yang harus engkau penuhi,
seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan, dan
hak yang menjadi bagianmu. Apa yang menjadi bagianmu adalah mubah
menurut ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajibanmu harus
engkau penuhi dan engkau harus memberikan hak kepada siapa pun yang
berhak menerimanya.

Banyak orang yang mencampur aduk antara kewajiban dan hak-nya,
sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara mengerjakan dan
meninggalkan. Banyak orang yang sebenarnya dia boleh mengerjakan
sesuatu namun dia justru meninggalkannya, seperti orang yang raj in
beribadah dengan meninggalkan apa yang sebenarnya boleh dia kerja-kan,
seperti meninggalkan hal-hal yang mubah, karena dia mengira bah-wa hal
itu tidak boleh dia kerjakan. Begitu pula sebaliknya, orang yang rajin
beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya harus dia
tinggalkan, karena dia mengira hal itu merupakan haknya.

Yang pertama seperti orang yang rajin beribadah dengan tidak mau
menikah, tidak mau memakan daging, buah-buah, makanan yang lezat dan
pakaian yang bagus. Karena kebodohannya dia mengira bahwa semua itu
merupakan larangan baginya, sehingga dia harus meninggalkannya, atau dia
berpendapat bahwa dengan meninggalkannya akan membuat ibadahnya
bertambah afdhal. Dalam Ash-Shahih disebutkan pengingkaran Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap beberapa shahabat yang tidak mau
menikahi wanita, terus-menerus berpuasa dan shalat malam. Yang kedua
seperti orang yang rajin beribadah, namun bid'ah. Dia melihat cara
ibadahnya itu benar, karena begitulah yang banyak dilaku-kan orang.


3. Tidak Ridha terhadap Ketaatan Yang Dilakukan

Engkau harus tahu bahwa setiap ketaatan yang engkau ridhai, akan
menjadi beban dosa bagimu, dan setiap kedurhakaan yang dituduhkan
saudaramu kepadamu, maka terimalah tuduhan itu dan anggaplah bahwa
memang itulah yang benar. Sebab keridhaan seorang hamba terhadap
ketaatan dirinya merupakan bukti baik sangka terhadap diri sendiri dan
kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah serta tidak tahu apa yang
dituntut Allah darinya, lalu akhirnya melahirkan takabur dan ujub, yang
dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar yang nyata, seperti zina, minum
khamr, lari dari medan peperangan dan lain-lainnya.

Orang-orang yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan
istighfar setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan, karena mereka
menyadari keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa
belum memenuhi hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Allah juga
memerintahkan agar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa
memohon ampunan dalam setiap kesempatan dan sehabis melaksanakan
tugas-tugas risalah atau setelah melaksanakan suatu ibadah. Dalam surat
terakhir yang diturunkan, Allah juga tetap memerintahkan beliau untuk
memohon ampunan,

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu
lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka
bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-
Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat." (An-Nashr: 1-3).

Maka Umar bin Al-Khaththab dan Ibnu Abbas memahami turunnya
surat ini sebagai isyarat telah dekatnya ajal beliau. Seakan-akan Allah
hendak memberitahukan hal ini kepada beliau, dengan memerintahkan
agar beliau memohon ampunan sehabis mengerjakan setiap tugas.

Dengan kata lain, surat ini semacam pemberitahuan: Engkau telah rampung
mengerjakan kewajibanmu dan tidak ada lagi kewajiban yang menyisa
setelah itu. Maka jadikanlah istighfar sebagai kesudahannya.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasih komentar